Saturday, 15 February 2014

Saya tidak sedang elegi...

Mari kita mulai sajak ini dengan permulaan.
Awal tak sama dengan permulaan.
Mari kita anggap bahwa sajak ini tak berdosa.
Tak berdosa,berbeda dengan suci.
Mari kita sejenak amnesia,melupa.
Lupa tidak harus melupakan.
Mari kita berelegi dalam ke satiran.
Elegi bukan hanya tentang perasaan.

Jika permulaan kita anggap semua tak berdosa,jika permulaan kita sengaja melupa maka hasil akan berbuah satir.
Jika awal,kita sudah menganggap suci,jika awal kita melupakan maka akhir akan mendapat elegi.

Malam ini,kita tidak mengayuh kereta kencan bersama,seperti malam-malam sebelumnya.
Malam ini,tidak terdengar suara lirih desahmu di telinga,hanya sayup-sayup nyanyian dengkur dari kiasan fatamorgana.
Malam ini,saya mulai ingin ke entah berantah atau terjerumus di lubang tanda tanya.
Namun ini hanya ke satiran.

Senja ini,senja kita...Dulu.
Kini,senja ku dan senja mu masih sama,berdua kita melewati tapi tidak dengan genggaman.
Malam ini berbintang,bintang dengan kilau sama.
Bintang yang mungkin kita beri nama bersama,tapi malam ini bintang ini tak bernama.
Saya,kini hanya bermain angan-angan,berpaju di lembah pararel atau klise,entahlah.
Namun ini hanya sebuah elegi.

Dan mari kita akhiri sajak ini.
Ingat,akhir bukan berarti berakhir.
Mari kita meredup.
Redup bukan berarti padam.
Ada fatamorgana,klise,pararel dan kamuflase.
Ada elegi,satir dan romantic.
Ada tanda tanya disetiap tanda seru.
Ada pilihan diantara sajak.

Dan saya memilih menuju lorong satir dengan debu di pundak. 
















Share:

0 comments:

Post a Comment